Selasa, 25 November 2014

Cerita Sesti dan PHL Pengelola Kompos TPA Sukawinatan


Cerita Sesti dan PHL Pengelola Kompos TPA Sukawinatan
Dua PHL pengelola kompos TPA Sukawinatan Dinas Kebersihan Kota (DKK) Palembang tengah membuat kerajinan dari sampah anorganik

Di tempat pembuangan akhir (TPA), semua jenis sampah ada. Sebagaian masih bisa diolah hingga punya nilai ekonomis lagi. Kreativitas itulah yang dimiliki beberapa pekerja harian lepas (PHL) pengelola kompos TPA Sukawinatan Dinas Kebersihan Kota (DKK) Palembang.

================================

Khoirunnisak – Palembang

================================



Suara mesin jahit manual terdengar dari ruang workshop kompos di TPA Sukawinatan. Dua wanita berjilbab memakai seragam biru muda dan celana panjang hitam sedang serius berkreasi. Keduanya sedang menjahit kain perca untuk membuat aneka kreasi berbahan baku sampah anorganik.

Keduanya, Sesti (24) dan Nurmaidah (19). Status mereka merupakan PHL pada DKK Palembang. Mereka di tempatkan di sana sebagai staf pengelola dan workshop kompos. Sudah banyak karya tangan yang dihasilkan dari sisa sampah, mulai dari tas wanita, map, kembang, kotak pensil, bros, wadah telur, taplak meja hingga lainnya.

Semua hasil handmode dipajang rapi dalam dua lemari kaca di ruangan tersebut. Butuh waktu cukup lama untuk membuat dan map dari sampah plastik kantong minyak goring. “Plastik harus dicuci bersih dahulu, lalu dikeringkan. Setelah itu, baru digunting dan dijahit. Makan waktu sekitar dua minggu. Kalau bahannya ada, hasil produksinya cukup banyak,” kata Sesti.

Soal harga, bervariasi, tergantung kerumitan membuatnya. Seperti tas map, dijual Rp 20 ribu, bros dan gelang Rp 3 ribu. Yang termahal, msalnya tas dari bahan perca dan tambahan plastik cantik yang dibandrol Rp 100 ribu. Karena terkendala pemasaran, berbagai produk kerajinan tangan itu tidak terjual ke masyarakat. Untuk mendapatkan link pemasaran, berbagai hasil olahan sampah itu sering diikutkan dalam pameran di Palembang. Dari semua produk, bros dan gelang tangan yang paling banyak diminati pembeli. Sesekali, ada kunjungan dari siswa sekolah di Palembang yang ingin belajar dan melihat langsung proses daur ulang sampah di Sukawinatan.

Kesempatan itu dimanfaatkan Sesti dan PHL lain untuk mempromosikan dan menawarkan karya-karya yang dihasilkan selama ini. “Hingga saat ini, kendala pemasaran hasil produksi masih terjadi,” bebernya.

Kondisi ini jelas memengaruhi produktivitas merea dalam memaksimalkan daur ulang sampah menjadi berbagai kerajinan yang lebih bermanfaat. Kata alumnus SMKN 7 Palembang itu, tidak semua bahan baku diambil dari sampah bekas. Ada juga bahan yang dibeli, seperti busa tas, lem, benang, dan lainnya.

Pembelian mengunakan uang hasil penjualan dari karya inovasi yang dibuat Sesti dan kawan-kawannya. Karena hasil karya mereka belum terjual, mau tidak mau mengerjakan kerajinan lain, seperti kotak pensil yang menggunakan koran bekas dan lem.

Dengan rajin browsing di internet, para PHL ini mencari inovasi lain yang dapat mereka buat dari bahan sampah. Sesekali ada tambahan ilmu dan keterampilan dari sosialisasi beberapa pihak terkait yang mengajari mereka kerajinan baru. “Kami sharing kerajinan terbaru yang bisa dibuat dengan menggunakan bahan-bahan bekas ini,” ungkap wanita yang sudah dua tahun menjadi PHL itu.

Dengan status PHL, Sesti menerima upah sebesar Rp 35 ribu per hari yang dibayarkan seminggu sekali, setiap hari Jumat. Gaji itu tidak berpengaruh terhadap hasil penjualan kerajinan yang dikerjakan bersama teman-temannya, mulai pukul 09.00 WIB – 16.00 WIB.

Mereka menginginkan agar pengelola TPA Sukawinatan dapat menambah fasilitas listrik dan televisi di ruang kerja demi menghapus rasa jenuh yang kadang mendera di sela-sela waktu kerja. Saat ini, ketika cuaca mendung, ruang kerja di sana gelap sehingga mengganggu kenyamanan dan kelancaran dalam bekerja. “Memang ada satu lampu, tapi hanya bisa menyala saat mesin cacah dihidupkan,” tuturnya.

Sesti dang rekanya berharap kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang dapat mencarikan solusi untuk masalah pemasaran hasil karya mereka. Intinya, aneka produk berbahan baku sampah itu bisa terjual dan dimanfaatkan masyarakat. “Kalau soal kreasi dan kualitas, jelas tidak kalah dengan karya daur ulang sampah dari kelompok lain,” tukasnya. (*/ce4)

0 komentar:

Posting Komentar